dliknews.com – PT Pertamina Patra Niaga resmi mengumumkan bahwa mulai 1 Juni 2024, seluruh pembelian LPG 3 kilogram (kg) atau yang biasa dikenal dengan gas melon, wajib menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa penyaluran LPG bersubsidi lebih tepat sasaran.
“Dapat kami laporkan bahwa per 1 Juni nantinya pada saat akan melakukan pembelian LPG 3 kg, itu nanti dipersyaratkan untuk menggunakan KTP,” kata Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (28/5/2024).
Meskipun kebijakan ini bertujuan baik, ternyata menimbulkan keluhan di kalangan agen LPG. Mereka merasa proses ini cukup merepotkan karena harus memeriksa KTP pembeli setiap kali transaksi.
“Ya jadi repot lah, (untuk pelanggan yang belum daftar) bawa KTP kita daftarkan dulu, makan waktu berapa lama? Belum lagi kalau dia beli harus dicek lagi segala macam,” kata Ida, seorang agen LPG di kawasan Kota Baru, Bekasi Barat, saat dikunjungi detikcom pada Kamis (30/5/2024).
Ida juga menambahkan bahwa kebijakan ini memaksa agen menyediakan karyawan tambahan untuk mengurusi pengecekan KTP setiap kali pembelian, yang tentu saja menambah biaya operasional.
Selain itu, menurut Ida, tidak semua pembeli bersedia menunjukkan KTP mereka. Ini bisa menjadi masalah besar ketika kebijakan ini sudah mulai diterapkan penuh pada bulan Juni.
“Kan nggak semua mau kasih KTP, kalau selama ini sih kita kasih saja (dibiarkan untuk membeli gas 3 kg). Tapi nanti kalau wajib beli gimana? Iya kalau mereka mau dengarkan kita, kalau tetap maksa beli? Kita yang ribut sama pelanggan nanti,” ucapnya.
Untuk saat ini, Ida masih memperbolehkan pembelian elpiji 3 kg tanpa menunjukkan KTP, karena belum ada aturan baku yang melarangnya. Namun, ia masih menunggu arahan lebih lanjut dari pihak Pertamina mengenai pelaksanaan kebijakan ini.
Siregar, seorang agen LPG di kawasan Pulo Gebang, Jakarta Timur, juga menghadapi tantangan serupa. Meskipun sudah berusaha membujuk para pembeli untuk menunjukkan dan mendaftarkan KTP mereka, tidak semua pembeli bersedia melakukannya.
“Setiap hari antar kadang minta KTP, ‘nggak ah, nggak ada KTP’,” katanya.
Siregar merasa kebijakan ini membuat proses pelayanan menjadi lebih sulit dan repot. Ia akhirnya memutuskan untuk tidak menjual LPG 3 kg kepada pembeli yang tidak mau menunjukkan KTP mereka, meskipun tidak semua agen LPG lain mengambil langkah yang sama.
“Kalau boleh nggak-nya (jual LPG 3 kg kepada pelanggan yang tidak menunjukkan KTP) sih saya nggak tahu ya, nggak jelas juga. Soalnya banyak juga (agen lain) yang masih kasih. Cuma daripada repot, saya nggak kasih (beli gas melon), toh saya nggak maksa (masyarakat untuk membeli gas darinya),” terang Siregar.
Meskipun kebijakan ini mendapatkan berbagai reaksi dari para agen, langkah ini diharapkan bisa memastikan bahwa subsidi LPG 3 kg benar-benar tepat sasaran kepada masyarakat yang berhak menerima. Kebijakan penggunaan KTP ini diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan dan penyaluran yang tidak tepat, sehingga manfaat dari subsidi LPG bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan.
Di tengah tantangan dan keluhan dari agen, Pertamina perlu memastikan bahwa kebijakan ini dilaksanakan dengan baik dan memberikan panduan yang jelas untuk membantu agen dalam proses implementasinya. Dukungan teknis dan sosialisasi yang lebih intensif juga mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memahami dan siap melaksanakan aturan baru ini.
Sebagai langkah ke depan, evaluasi berkala terhadap kebijakan ini mungkin diperlukan untuk menilai efektivitasnya dan menyesuaikan proses jika ada kendala yang signifikan di lapangan. Harapannya, kebijakan ini tidak hanya membantu dalam penyaluran LPG yang lebih tepat sasaran, tetapi juga dapat berjalan dengan lancar tanpa menimbulkan beban tambahan yang signifikan bagi para agen dan masyarakat.